Jumat, 19 Oktober 2018

MAKALAH PANDANGAN FILSAFAT PRAGMATISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN


 KATA PENGANTAR



Assalamu `alaikum Wr. Wb.

            Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan limpahan Taufiq dan HidayahNya kepada kita sekalian, Sholawat selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang membawa risalahnya hingga kita dapat menikmati indahnya Iman dan Islam. Kesyukuran tiada henti itu menjadi perwujudan takjub akan Ilmu pengetahuan yang semakin dinamis.
            Ilmu yang dahulu dipahami sebagai Message (pesan dari belajar), ternyata melalui proses konspsi yang cukup panjang. Konsepsi ini bermula dari rasa cinta akan ilmu pengetahuan (Filsafat).
            Pada kesempatan kali ini Pemakalah mencoba menggali Pandangan Filsafat Pragmatisme dalam Dunia Pendidikan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Landasan Pendidikan yang diampu oleh Dr. Desi Erawati, M.Ag.
            Segenap pemikian telah penyusun curahkan untuk penyelesaian makalah ini hingga makalah ini dapat disajikan, pemakalah menyadari masih terdapat kelemahan dan kekurangan pada pencarian substansi masalah dan juga metodologinya, hingga semua itu kembali pada pribadi pemakalah sebagai bahan koreksi.
            Akhirnya dengan mengharap Ridho Allah Swt, semoga makalah ini mampu mengkonstruksi pemikiran kita dalam tantangan dunia pendidikan, serta membawa manfaat untuk kita sekalian. Aamiin Yaa Rabbal `alamiin.

Wassalamu `alaikum Wr. Wb.


                                                                                                Palangka Raya,   Oktober 2018
                                                                                                Penyusun,


                                                                                                Ahmad Syarif



BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi, serta batasan masalah.

Filsafat sebagai dasar pembentuk suatu Ilmu pengetahuan menjadi penentu arah dan karakter setiap disiplin ilmu yang dilahirkan. Filsafat itu sendiri memiliki berbagai macam aliran dan tercatat bahwa aliran Naturalisme adalah aliran tertua sedangkan Pragmatisme yang termuda.
Fokus pada pendalaman aliran filsafat Pragmatisme misalanya tidak dapat dipisahkan dengan Etika dan Epistimologi, maksudnya Pragmatisme itu dapat dirasa jika mengkaji filsafat Etika dan Epistimologi.[1] Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.[2]

1
Pandangan filsafat Pragmatisme pada praktiknya juga tidak luput dari kritikan di antaranya: Masalah metafisik, (Menisbikan Keyakinan), dan menisbikan tujuan pendidikan jika kita kaitkan dengan dunia pendidikan, menurut Pragmatisme tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak pula tujuan pendidikan yang bersifat pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat diterapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan selalu bersifat temporer, dan tujuan meruapakan alat bertindak, jika suatu tujuan telah tercapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.[3]
Makalah ini spesifik akan mengkonstruksikan dan mengkonvergensi konsep filsafat Pragmatisme dalam memandang pendidikan. Rumusan masalah yang akan diangkat: 1) Apa itu filsafat Pragmatisme?, 2) Siapa saja tokoh Filsafat Pragmatisme?, 3) Seperti apa pandangan filsafat Pragmatisme dalam dunia pendidikan?, 4) Bagaima implikasi Pragmatisme dalam dunia pendidikan?. Orientasi atau tujuan penyusunan makalah ini sendiri akan menguraikan: 1) Sejarah singkat dan pengertian aliran Filsafat Pragmatisme, 2) Mengemukakan beberapa pandangan tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme, 3) Mendeskripsikan seperti apa saja pandangan filsafat Pragmatisme terhadap dunia pendidikan, 4) Merumuskan implikasi Pragmatisme dalam dunia pendidikan.
Metode yang digunakan penyusun dalam makalah ini berupa metode kepustakaan, dengan Buku-buku sebagai Data Primer dan mengutip beberapa jurnal elektronik sebagai data sekunder. Batasan masalah makalah ini hanya pada pandangan Pragmatisme terhadap dunia pendidikan secara umum, sedangkan terhadap hal yang lebih spesifik tidak di uraikan.




 BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Pragmatisme

Akhir abad XIX atau memasuki abad XX di Amerika berkembang sebuah aliran filsafat yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan negara tersebut sehingga mengubah cara pandang rakyat Amerika salah satunya di bidang pendidikan. Adalah aliran Pragmatisme, suatu pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia dalam kehidupannya. Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Pengalaman-pengalaman pribadi dapat diterima jika hal tersebut bermanfaat.
Rasionalitas dalam pragmatisme telah diubah menjadi yang berguna, yang bermanfaat, atau yang berfungsi. Ada dua ide utama dalam pragmatisme, pertama manusia adalah makhluk aktif-kreatif membentuk dunianya, kedua manusia memadukan kebenaran dan value dalam action. Paduan kebenaran dan value dalam action menampilkan teori kebenaran yang praktis, yang fungsional, dan yang berguna praktis. Dalam perkembangannya, pragmatisme berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun semuanya berpangkal pada satu gagasan asal, namun bemuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.
Fakta yang ditata kemudian distrukturkan lewat cara berfikir reflektif atau lewat eksperimentasi akan menjadi kebenaran bila telah diuji dengan pembuktian adanya korespondensi fakta dengan ide dan telah diuji dalam praktik. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi. Sebagai gambaran awal, Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

3

Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia, yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.[4]
1.    Pengertian Pragmatisme
Secara Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat praktis.Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”.Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang.Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis.Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis.Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupannyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin suatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli.Namun sebenernya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles sander perce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952).Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya.Pragmatism peirce dilandasi oleh fisika dan matematika, Filsafat Dewey dilandasi oeh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatism James adalah personal, psikologis, dan bahkan religious.[5]

B.   Tokoh Pragmatisme
1.    C.S. Peirce (1839-1914)
Secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth). Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut :
a.    Aranscendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada things as things.
b.    Complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis dilain pihak.
c.    Yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik. Peirce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatisme Peirce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di atas.[6]
2.    William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif.Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama.Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Menurut William James pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Dan menurut pendapatnya lagi Pragmatisme adalah filsafat praktis karena ia memberikan kontrol untuk bertindak bagi kebutuhan, harapan, serta keyakinan manusia untuk sebagian dari masa depannya.
Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja.Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak.Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan.Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang.Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey.Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.[7]
3.    John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James.Dewey adalah seorang yang pragmatis.Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Dalam teori inkuirinya Dewey mengembangkan filsafatnya sebagai berikut :
Situasi di sekeliling kita itu sebagai pengalaman pertama merupakan situasi indeterminate , maka dengan berfikir reflektif, situasi tersebut menjadi determinate, atas refleksi kita. Pengalaman  itu sendiri adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Proses inkuiri tersebut untuk sampai kepada pencitraan determinate tersebut melalui hipotesis atau plan of actiaon  yang selanjutnya diuji secara eksperimental. Dalam proses inkuiri tersebut John Dewey bukan mencari benar salah, melainkan mencari efektif atau tidaknya. Hasil efektif sebagai ends akan menjadi means pada inkuiri berikutnya, sehingga akan menjadi matarantai berkelanjutan means – ends – means – end – means  - ends. Itulah Instrumentalisme John dewey.[8]
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme.Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.

C.  Pandangan Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Tidak bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. John Dewey merupakan tokoh pragmatisme yang secara eksplisit membahas pendidikan, dan secara sistematis menyusun teori pendidikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.[9]
1.    Orientasi Pendidikan Pragmatisme
Sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengedepankan pengembangan kemampuan diri untuk berkreasi, menemukan gagasan-gagasan dan sebuah pengetahuan. Aliran pragmatisme menganggap kehidupan sebenarnya adalah perjalanan mewujudkan pikiran yang senantiasa dinamis. Seperti pendapat “Pendidikan pada dasarnya adalah upaya terus menerus yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan peserta didik dalam mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Dengan demikian, disatu sisi pendidikan merupakan suatu upaya menanamkan nilai-nilai dalam rangka membentuk  watak dan kepribadiannya. Selanjutnya pendidikan mendorong peserta didik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Muthadha Muthahhari salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membangun kepribadian manusia”.[10]
            “Jika,” ujar John Dewey suatu kali, “kita bersedia untuk memahami pendidikan sebagai sebuah proses pembentukan pendapat-pendapat mendasar, bersipat intelektual dan emosional, tentang tentang alam serta tentang sesama manusia, maka filosofi dapat dirumuskan sebagai teori umum tentang pendidikan, karenanya pendidikan tidak dibawahi (disubordinasi) oleh apa pun juga untuk menyelamatkan lebih banyak lagi pendidikan” [11]
Inti dari filsafat pendidikan berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu.[12] 
a.    Tujuan Pendidikan
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan, Dewey mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu:
1)   Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik;
2)   Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung;
3)   Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung.[13]


b.    Proses Pendidikan
Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif, tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan guru. Dalam situasi belajar, guru seyogyanya menyusun pembelajaran berdasarkan masalah utama dalam masyarakat, dan pemecahannya diserahkan kepada peserta didik.
Dalam menyusun kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisah, harus merupakan satu kesatuan. Pengalaman di sekolah dan di luar sekolah harus dipadukan. Metode yang sebaiknya digunakan adalah metode disiplin, bukan dengan kekuasaan.[14]

D.  Implikasi Pragmatisme Terhadap Dunia Pendidikan
Implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup beberapa hal pokok, Power dalam Sadulloh yaitu:
1.      Tujuan pendidikan. 
Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
2.    Kedudukan siswa. 
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3.    Kurikulum. 
Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
4.    Metode.
Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja).
5.    Peran guru.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.[15]
E.  Kritik Terhadap Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
1.      Pragmatisme mencampur adukkan kreteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang keguanan praktis itu adalah hal lain.
2.      Pragmatisme menafsirkan peran akal manusia menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standard-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif (kepuasan).
3.      Pragmatisme menimbulkan relativlitas kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide, baik individu, kelompok, masyarakat, dan perubahan konteks waktu dan tempat.


 BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works) dan what work.
Adapun pemikiran dasar pragmatisme dapat dirinci dari beberapa segi, diantaranya: Realitas. Realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis; Pengetahuan dan Kebenaran, Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif; Nilai, nilai dianggap benar asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum final. Dan Pendidikan.
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis, dan manusia adalah ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil pikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.

12




DAFTAR PUSTAKA


Asmoro, Achmadi, . Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003

Dardiri, Achmad, Implikasi Pandangan Filsafat Pragmatisme Richard Rorty Tentang Epistimologi Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2007, FIP UNJ, Volume XXVI, Jokjakarta.

Imron. Filsafat Pendidikan. Palembang: Noer Fikri Offset, 2012
Mayangsari R, Galuh Nashrullah Kartika, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal HARATI, 2016, Univ. Islam M.Arsyad Al Banjari, Volume 07 Nomor 13

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Rake Sarasin 2001

Muthahhari, Murtadha, Dasar-Dasar epistemology Pendidkan Islam.Jakarta: Sadra International Institute, 2011

O’neil, William F, Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Priyanto, Dwi, Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan,  Jurnal JPII, 2017, IAIN Purwokerto,  Volume 1

Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: CV Alfabeta, 2003

Salam, Burhanuddin, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan,  Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2005







[1] Achmad Dardiri, Implikasi Pandangan Filsafat Pragmatisme Richard Rorty Tentang Epistimologi Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2007, FIP UNJ, Volume XXVI, Jokjakarta, h. 215.

[2] Achmadi, Asmoro . Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003, h. 35

[3] Dwi Priyanto, Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan,  Jurnal JPII, 2017, IAIN Purwokerto,  Volume 1, h. 185
[4] Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal HARATI, 2016, Univ. Islam M.Arsyad Al Banjari, Volume 07 Nomor 13, h.9 
[5] Uyoh sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: CV Alfabeta, 2003, h. 118-119.

[6] Burhanuddin Salam, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan,  Jakarta: Rineka Cipta, 1997, h. 202
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2005, h. 190.

[8] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Rake Sarasin 2001, 130.
[9] Imron. Filsafat Pendidikan. Palembang: Noer Fikri Offset, 2012, h.115
[10] Murtadha Muthahhari. Dasar-Dasar epistemology Pendidkan Islam.Jakarta: Sadra International Institute, 2011, h. 5
[11] William F O’neil. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h.11.

[12] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2003. h. 125

[13] ----------, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2003, h. 129.
[14] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2003, h. 130-131.
[15] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2003, h. 133.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar