KATA PENGANTAR
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan limpahan Taufiq dan HidayahNya kepada kita sekalian, Sholawat selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang membawa risalahnya hingga kita dapat menikmati indahnya Iman dan Islam. Kesyukuran tiada henti itu menjadi perwujudan takjub akan Ilmu pengetahuan yang semakin dinamis.
Ilmu yang dahulu dipahami sebagai Message (pesan dari belajar), ternyata melalui proses konspsi yang cukup panjang. Konsepsi ini bermula dari rasa cinta akan ilmu pengetahuan (Filsafat).
Pada kesempatan kali ini Pemakalah mencoba menggali Pandangan Filsafat Pragmatisme dalam Dunia Pendidikan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Landasan Pendidikan yang diampu oleh Dr. Desi Erawati, M.Ag.
Segenap pemikian telah penyusun curahkan untuk penyelesaian makalah ini hingga makalah ini dapat disajikan, pemakalah menyadari masih terdapat kelemahan dan kekurangan pada pencarian substansi masalah dan juga metodologinya, hingga semua itu kembali pada pribadi pemakalah sebagai bahan koreksi.
Akhirnya dengan mengharap Ridho Allah Swt, semoga makalah ini mampu mengkonstruksi pemikiran kita dalam tantangan dunia pendidikan, serta membawa manfaat untuk kita sekalian. Aamiin Yaa Rabbal `alamiin.
Wassalamu `alaikum Wr. Wb.
Palangka Raya, Oktober 2018
Penyusun,
Ahmad Syarif
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi, serta batasan masalah.
Filsafat
sebagai dasar pembentuk suatu Ilmu pengetahuan menjadi penentu arah dan
karakter setiap disiplin ilmu yang dilahirkan. Filsafat itu sendiri memiliki
berbagai macam aliran dan tercatat bahwa aliran Naturalisme adalah aliran
tertua sedangkan Pragmatisme yang termuda.
Fokus pada pendalaman
aliran filsafat Pragmatisme misalanya tidak dapat dipisahkan dengan Etika dan
Epistimologi, maksudnya Pragmatisme itu dapat dirasa jika mengkaji filsafat
Etika dan Epistimologi.[1]
Pragmatisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah
sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran
sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan
sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti
berguna bagi masyarakat yang lain. Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami
perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati
demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak
segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika
formal.[2]
1
|
Makalah ini
spesifik akan mengkonstruksikan dan mengkonvergensi konsep filsafat Pragmatisme
dalam memandang pendidikan. Rumusan masalah yang akan diangkat: 1) Apa itu
filsafat Pragmatisme?, 2) Siapa saja tokoh Filsafat Pragmatisme?, 3) Seperti
apa pandangan filsafat Pragmatisme dalam dunia pendidikan?, 4) Bagaima
implikasi Pragmatisme dalam dunia pendidikan?. Orientasi atau tujuan penyusunan
makalah ini sendiri akan menguraikan: 1) Sejarah singkat dan pengertian aliran
Filsafat Pragmatisme, 2) Mengemukakan beberapa pandangan tokoh-tokoh Filsafat
Pragmatisme, 3) Mendeskripsikan seperti apa saja pandangan filsafat Pragmatisme
terhadap dunia pendidikan, 4) Merumuskan implikasi Pragmatisme dalam dunia
pendidikan.
Metode yang
digunakan penyusun dalam makalah ini berupa metode kepustakaan, dengan
Buku-buku sebagai Data Primer dan mengutip beberapa jurnal elektronik sebagai
data sekunder. Batasan masalah makalah ini hanya pada pandangan Pragmatisme
terhadap dunia pendidikan secara umum, sedangkan terhadap hal yang lebih
spesifik tidak di uraikan.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pragmatisme
Akhir abad XIX atau memasuki abad XX di Amerika
berkembang sebuah aliran filsafat yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan
negara tersebut sehingga mengubah cara pandang rakyat Amerika salah satunya di
bidang pendidikan. Adalah aliran Pragmatisme, suatu pemikiran yang memandang
bahwa benar tidaknya ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada
berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia dalam
kehidupannya. Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibat yang bermanfaat secara
praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Pengalaman-pengalaman
pribadi dapat diterima jika hal tersebut bermanfaat.
Rasionalitas dalam pragmatisme telah diubah
menjadi yang berguna, yang bermanfaat, atau yang berfungsi. Ada dua ide utama
dalam pragmatisme, pertama manusia
adalah makhluk aktif-kreatif membentuk dunianya, kedua manusia memadukan kebenaran dan value dalam action.
Paduan kebenaran dan value dalam action menampilkan teori kebenaran yang
praktis, yang fungsional, dan yang berguna praktis. Dalam perkembangannya,
pragmatisme berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun
semuanya berpangkal pada satu gagasan asal, namun bemuara dalam
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.
Fakta yang ditata kemudian distrukturkan lewat
cara berfikir reflektif atau lewat eksperimentasi akan menjadi kebenaran bila
telah diuji dengan pembuktian adanya korespondensi fakta dengan ide dan telah
diuji dalam praktik. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir, yang lahir
sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi.
Sebagai gambaran awal, Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S.
Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910)
dan John Dewey (1859-1952).
3
|
1.
Pengertian Pragmatisme
Secara Istilah Pragmatisme
berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya
dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan
demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
menuruti tindakan.Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya
membawa akibat praktis.Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua
bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat.Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat
bagi hidup praktis”.Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran
adalah “faedah” atau “manfaat”.Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali
diucapkan orang.Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian
praktis.Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah
rancangan itu kurang praktis.Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari
pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan
pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah
sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupannyata. Oleh sebab itu
kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin suatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu,
tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan
benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli.Namun sebenernya
berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat manusia dapat
mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika
adalah Charles sander perce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John
Dewey (1859-1952).Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun
dalam kesimpulannya.Pragmatism peirce dilandasi oleh fisika dan matematika, Filsafat Dewey dilandasi oeh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatism
James adalah personal, psikologis, dan bahkan religious.[5]
B. Tokoh Pragmatisme
1.
C.S. Peirce (1839-1914)
Secara umum orang memakai istilah pragmatisme
sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu
dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau
benar bila berguna bagi masyarakat. Pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia
namakan pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of
Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth). Menurut Peirce
kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran
itu sebagai berikut :
a. Aranscendental
truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada
kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu
hal adalah pada things as things.
b. Complex
truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini
dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis
dilain pihak.
c. Yaitu ide
tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik.
Peirce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatisme
Peirce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di atas.[6]
2. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New
York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang
terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif.Selain kaya, keluarganya
memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.Keluarganya juga
menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.Ayah James rajin
mempelajari manusia dan agama.Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa
belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah
yang berkenaan dengan kehidupan.
Menurut William James pragmatisme adalah
realitas sebagaimana yang kita ketahui. Dan menurut pendapatnya lagi Pragmatisme adalah
filsafat praktis karena ia memberikan kontrol untuk bertindak bagi kebutuhan,
harapan, serta keyakinan manusia untuk sebagian dari masa depannya.
Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran,
James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.
Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak
ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam
bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang
setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam
pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung
keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.Pertimbangan
itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta
kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes
of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James
mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan
perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran
dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita
menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah
kemungkinan saja.Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara
mutlak.Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang
lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme
ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan.Pendidikan
menghasilkan orang Amerika sekarang.Dengan kata lain, orang yang paling
bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan
John Dewey.Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang
kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran
umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme,
dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan,
bahkan manusianya itu sendiri.[7]
3. John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey
bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James.Dewey adalah seorang yang
pragmatis.Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia
serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi.Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey
menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nyata. Filsafat tidak
boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada
faedahnya.
Dewey lebih suka
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Dalam teori inkuirinya
Dewey mengembangkan filsafatnya sebagai berikut :
Situasi di
sekeliling kita itu sebagai pengalaman pertama merupakan situasi indeterminate , maka
dengan berfikir reflektif, situasi tersebut menjadi determinate,
atas refleksi kita. Pengalaman itu sendiri adalah salah satu kunci dalam
filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu
filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis.
Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.
Proses inkuiri
tersebut untuk sampai kepada pencitraan determinate tersebut melalui hipotesis
atau plan of actiaon yang selanjutnya diuji secara
eksperimental. Dalam proses inkuiri tersebut John Dewey bukan mencari benar
salah, melainkan mencari efektif atau tidaknya. Hasil efektif sebagai ends akan
menjadi means pada inkuiri berikutnya, sehingga akan menjadi
matarantai berkelanjutan means – ends – means – end – means -
ends. Itulah Instrumentalisme John dewey.[8]
Instrumentalisme
ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey,
kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat
dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita
namakan instrumentalisme.Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.Kedua, kata futurisme, mendorong kita
untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.Ketiga, milionarisme,
berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
C. Pandangan Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak
dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap
kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab
permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan
tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba
mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model
pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir
manusia itu sendiri.
Tidak
bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang
sangat besar terhadap teori pendidikan. John Dewey merupakan tokoh pragmatisme
yang secara eksplisit membahas pendidikan, dan secara sistematis menyusun teori
pendidikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.[9]
1. Orientasi
Pendidikan Pragmatisme
Sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengedepankan
pengembangan kemampuan diri untuk berkreasi, menemukan gagasan-gagasan dan
sebuah pengetahuan. Aliran pragmatisme menganggap kehidupan sebenarnya adalah
perjalanan mewujudkan pikiran yang senantiasa dinamis. Seperti pendapat “Pendidikan
pada dasarnya adalah upaya terus menerus yang bertujuan mengembangkan potensi
kemanusiaan peserta didik dalam mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi
berbagai tantangan dalam kehidupan. Dengan demikian, disatu sisi pendidikan
merupakan suatu upaya menanamkan nilai-nilai dalam rangka
membentuk watak dan kepribadiannya. Selanjutnya pendidikan mendorong
peserta didik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Muthadha Muthahhari salah satu tujuan pendidikan dan
pengajaran adalah membangun kepribadian manusia”.[10]
“Jika,”
ujar John Dewey suatu kali, “kita bersedia untuk memahami pendidikan sebagai
sebuah proses pembentukan pendapat-pendapat mendasar, bersipat intelektual dan
emosional, tentang tentang alam serta tentang sesama manusia, maka filosofi
dapat dirumuskan sebagai teori umum tentang pendidikan, karenanya pendidikan
tidak dibawahi (disubordinasi) oleh apa pun juga untuk menyelamatkan lebih
banyak lagi pendidikan” [11]
Inti dari filsafat pendidikan berwatak
pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil
dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan
harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh
mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak.
Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa
memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa
anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk
berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu
proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu.[12]
a. Tujuan
Pendidikan
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan, Dewey
mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu:
1)
Tujuan
pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan
peserta didik;
2)
Tujuan
pendidikan harus mampu memunculkan metode yang dapat mempersatukan aktivitas
pengajaran yang sedang berlangsung;
b. Proses
Pendidikan
Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas
fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami serta dibicarakan sebelumnya.
Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk
mencapai tujuan. Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif,
tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan guru. Dalam situasi
belajar, guru seyogyanya menyusun pembelajaran berdasarkan masalah utama dalam
masyarakat, dan pemecahannya diserahkan kepada peserta didik.
Dalam menyusun kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh
terpisah, harus merupakan satu kesatuan. Pengalaman di sekolah dan di luar
sekolah harus dipadukan. Metode yang sebaiknya digunakan adalah metode
disiplin, bukan dengan kekuasaan.[14]
D. Implikasi Pragmatisme Terhadap Dunia
Pendidikan
Implikasi
dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup
beberapa hal pokok, Power dalam Sadulloh yaitu:
1.
Tujuan pendidikan.
Tujuan
pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan ha-hal baru
dalam hidup sosial dan pribadi.
2. Kedudukan
siswa.
Kedudukan siswa dalam
pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang
luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3. Kurikulum.
Kurikulum pendidikan
pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat
dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru
menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan
kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan antara
pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
4. Metode.
Metode yang digunakan
dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by
doing (belajar sambil bekerja).
5. Peran
guru.
Peran guru dalam
pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar
siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah
menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab;
sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak.
Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan
pilihan hidup yang telah direncanakan.[15]
E. Kritik Terhadap Pragmatisme
Pragmatisme adalah
aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan praktis yang dihasilkannya
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
1. Pragmatisme
mencampur adukkan kreteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran
suatu ide adalah satu hal, sedang keguanan praktis itu adalah hal lain.
2. Pragmatisme
menafsirkan peran akal manusia menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas
intelektual dengan menggunakan standard-standar tertentu. Sedang penetapan
kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi
instinktif (kepuasan).
3. Pragmatisme
menimbulkan relativlitas kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek
penilai ide, baik individu, kelompok, masyarakat, dan perubahan konteks waktu
dan tempat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pragmatisme
berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau
“manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if
it works) dan what work.
Adapun
pemikiran dasar pragmatisme dapat dirinci dari beberapa segi,
diantaranya: Realitas. Realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi
manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis; Pengetahuan dan
Kebenaran, Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan
kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis
tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan
subjektif; Nilai, nilai dianggap benar asalkan bersifat
aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut
tentunya bersifat relatif dan belum final. Dan Pendidikan.
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis,
dan manusia adalah ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah
dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia
harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil
pikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu
teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua
materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah
diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut
dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai
tujuan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme
hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak
dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru
tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat
dan minat yang dimiliki.
12
|
DAFTAR
PUSTAKA
Asmoro,
Achmadi, . Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003
Dardiri, Achmad, Implikasi Pandangan Filsafat Pragmatisme Richard Rorty Tentang
Epistimologi Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2007, FIP UNJ, Volume
XXVI, Jokjakarta.
Imron. Filsafat
Pendidikan. Palembang: Noer Fikri Offset, 2012
Mayangsari
R, Galuh Nashrullah Kartika, Aliran
Pragmatisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal HARATI, 2016,
Univ. Islam M.Arsyad Al Banjari, Volume
07 Nomor 13
Muhadjir, Noeng, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta : Rake Sarasin 2001
Muthahhari, Murtadha, Dasar-Dasar
epistemology Pendidkan Islam.Jakarta: Sadra International Institute, 2011
O’neil,
William F, Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2001
Priyanto, Dwi, Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan, Jurnal JPII, 2017, IAIN Purwokerto, Volume 1
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: CV Alfabeta, 2003
Salam, Burhanuddin, Logika Materil:
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung : PT Remaja Rosda Karya,
2005
[1] Achmad Dardiri, Implikasi Pandangan Filsafat Pragmatisme
Richard Rorty Tentang Epistimologi Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan,
2007, FIP UNJ, Volume XXVI, Jokjakarta, h. 215.
[3] Dwi Priyanto, Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme
Terhadap Praksis Pendidikan, Jurnal
JPII, 2017, IAIN Purwokerto, Volume 1,
h. 185
[4] Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan Filsafat
Pendidikan Islam, Jurnal HARATI, 2016, Univ. Islam M.Arsyad Al Banjari, Volume 07 Nomor 13, h.9
[6] Burhanuddin Salam, Logika
Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, h.
202
[9]
Imron. Filsafat Pendidikan. Palembang: Noer Fikri Offset,
2012, h.115
[10]
Murtadha
Muthahhari. Dasar-Dasar epistemology Pendidkan Islam.Jakarta: Sadra
International Institute, 2011, h. 5
[12] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, 2003. h. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar