Selasa, 14 Januari 2014

GURU SPIRITUAL PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Ahmad Syarif, S.Pd.I.


Istilah guru/penasihat spiritual tidaklah asing lagi bagi kita, sering kita lihat para perjabat, selebritis, dan orang-orang penting lainnya menghadirkan guru spiritualnya di ruang publik. Dengan berbagai macam alasan mereka menghadirkannya di ruang pulik figur yang mereka anggap menjadi panutan dari segi perkataan dan perbuatan. Dalam dimensi Sufi  istilah ini sering disebut dengan istilah Syeikh Al Mursyid.
Pada praktiknya memiliki guru spiritual memang suatu keperluan mendasar agar menjadi kendali seseorang yang ingin menempuh kehidupan lebih baik. Namun, ada saja dengan dalih tertentu guru spiritual akan lebih sering muncul berbarangan dengan polemik yang sedang membelenggu muridnya. Di sini lah letak kekeliruannya, guru spiritual hanya menjadi  pembenar suatu persoalan, bukan konsultan mulaidari niat utama dalam bekerja.
Sifat guru spiritual secara umum haruslah sejalan dengan ajaran al Qur`an dan sunah, sehingga tidak hanya nasihat verbal yang didengarkan tetapi segala gerak-gerik, perbuatannya menjadi Uswah (contoh yang baik bagi pengikutnya. Demikian pula dengan murid terlebih lagi haruslah bersifat Mutaba`ah (mengikuti), sebagai pengikut yang menempatkan diri pada barisan pertama dibelakang orang yang diikuti. Menjaga hak-hak guru, menjalankan kewajiban seorang murid.
Sekelumit sudah tergambar bahwa yang patut dijadikan guru spiritual adalah seorang yang faham tentang agama, berpegang pada al Qur`an dan sunah, tidak menyimpang pada pemahaman yang ekstrem terhadap dalil agama.
Memang suatu tantangan berat bagi kita yang awan tentang agama untuk mencari panutan yang bisa membimbing kita, karena pemilihannya tidak hanya penilaian subjektif yang muncul dari prasangka kita semata. Yang harus dilakukan dengan cara menggali pengetahuan, latar belakang, latar pendidikan, dan dari guru-guru nya terdahalu, serta sejauh mana apa yang telah diajarkan dengan apa yang telah diperbuatnya. Cari lah guru yang menempatkan urusa dunia dan akhirat secara simbang, tidak cenderung terhadap rohani semata (fanatis) tidak pula cenderung mengurus dunia (materialis). Dia mampu menempatkan diri ditengah umat dan menjadi teladan penyelamat kedua pihak. Yang dia lakukan bukan cepat mem bid`ah kan, bukan cepat men sunah kan, yang dia berikan gambaran konsekuensi hukum yang ditimbulkan berdasarkan sumber agama. Guru spiritual tidak melulu menampakkan dengan pakaian yang menunjukkan seorang `alim, tidak pula terlalu mengumbar aurat tapi mengenakan pakaian yang sesuai dengan keadaan dan tidak memaksakan dalam QS. al-Baqarah [2]: 143 disebut sebagai ummatan wasathan dengan pengertian “tengahan”, “moderat”, “adil” dan “terbaik”. Wallahu a`lam bissawab.