GURU SPIRITUAL PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Ahmad Syarif, S.Pd.I.
Istilah guru/penasihat spiritual tidaklah asing lagi bagi kita,
sering kita lihat para perjabat, selebritis, dan orang-orang penting lainnya
menghadirkan guru spiritualnya di ruang publik. Dengan berbagai macam alasan
mereka menghadirkannya di ruang pulik figur yang mereka anggap menjadi panutan
dari segi perkataan dan perbuatan. Dalam dimensi Sufi istilah ini sering disebut dengan istilah Syeikh
Al Mursyid.
Pada praktiknya memiliki guru spiritual memang suatu keperluan
mendasar agar menjadi kendali seseorang yang ingin menempuh kehidupan lebih
baik. Namun, ada saja dengan dalih tertentu guru spiritual akan lebih sering
muncul berbarangan dengan polemik yang sedang membelenggu muridnya. Di sini lah
letak kekeliruannya, guru spiritual hanya menjadi pembenar suatu persoalan, bukan konsultan
mulaidari niat utama dalam bekerja.
Sifat guru spiritual secara umum haruslah sejalan dengan ajaran al
Qur`an dan sunah, sehingga tidak hanya nasihat verbal yang didengarkan tetapi
segala gerak-gerik, perbuatannya menjadi Uswah (contoh yang baik bagi
pengikutnya. Demikian pula dengan murid terlebih lagi haruslah bersifat Mutaba`ah
(mengikuti), sebagai pengikut yang menempatkan diri pada barisan pertama
dibelakang orang yang diikuti. Menjaga hak-hak guru, menjalankan kewajiban
seorang murid.
Sekelumit sudah tergambar bahwa yang patut dijadikan guru spiritual
adalah seorang yang faham tentang agama, berpegang pada al Qur`an dan sunah,
tidak menyimpang pada pemahaman yang ekstrem terhadap dalil agama.
Memang suatu tantangan berat bagi kita yang awan tentang agama
untuk mencari panutan yang bisa membimbing kita, karena pemilihannya tidak
hanya penilaian subjektif yang muncul dari prasangka kita semata. Yang harus
dilakukan dengan cara menggali pengetahuan, latar belakang, latar pendidikan,
dan dari guru-guru nya terdahalu, serta sejauh mana apa yang telah diajarkan
dengan apa yang telah diperbuatnya. Cari lah guru yang menempatkan urusa dunia
dan akhirat secara simbang, tidak cenderung terhadap rohani semata (fanatis)
tidak pula cenderung mengurus dunia (materialis). Dia mampu menempatkan diri
ditengah umat dan menjadi teladan penyelamat kedua pihak. Yang dia lakukan
bukan cepat mem bid`ah kan, bukan cepat men sunah kan, yang dia berikan
gambaran konsekuensi hukum yang ditimbulkan berdasarkan sumber agama. Guru
spiritual tidak melulu menampakkan dengan pakaian yang menunjukkan seorang `alim,
tidak pula terlalu mengumbar aurat tapi mengenakan pakaian yang sesuai dengan
keadaan dan tidak memaksakan dalam QS. al-Baqarah [2]: 143 disebut sebagai ummatan
wasathan dengan pengertian “tengahan”, “moderat”, “adil” dan “terbaik”. Wallahu a`lam bissawab.