Selasa, 13 November 2012


             
        Bismillahirrahmanirrahim
BERHIJRAH DI MASA KINI
Ahmad Syarif
J

adilah engkau pema`af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Al- A`raaf  [007] : 199).
Tinggal menghitung hari Insya Allah kita akan sama-sama memasuki tahun baru Islam 1 Muharram 1434 Hijriah yang berbarti 1434 tahun yang lalu suatu peristiwa yang sangat penting terjadi. Peristiwa itu tidak lain adalah hijrahnya Rasulullah Muhammad Saw dari kota Mekkah ke Madinah. Perpindahan dari lingkungan yang kurang berkenan kepada lingkungan yang terbuka pada risalahnya Nabi Muhammad Saw. Dari peristiwa hijrah tersebut Nabi Muhammad Saw juga memberikan contoh yang sangat bijak ketika menyelesaikan perselisihan antara Kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan tidak memihak satu sama lain beliau menyelesaikannya dengan jalan musyawarah yang akhirnya melahirkan Piagam Madinah yang isinya tidak merugikan Kedua belah pihak.
Jalan musyawarah inilah yang membuat tempat tujuan hijrahnya Nabi ini menjadi kian damai, sesuai dengan namanya Madinah/Madani---Tamaddun (aman dan damai). Sangat banyak hikmah yang dapat diuraikan dari peristiwa hijrah tersebut, namun yang paling mendasar dari peristiwa hijrah tersebut, dan dapat kita kaitkan saat ini pada diri pribadi kita masing-masing adalah perpindahan dari pribadi yang kiranya selama ini dinilai kurang baik menjadi pribadi yang lebih baik. Mendewasakan pemikiran dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat, serta mampu menyelesaikan setiap persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru. Sebagai gambaran dari beberapa kesalahan yang sering kita lakukan, kalau yang sebelumnya kita lebih sering membicarakan orang lain berarti kita harus lebih banyak mawas diri. Ketika kita sebelumnya sering berharap diberi berarti kita mulai belajar untuk memberi, dan apabila sebelumnya kita sering merasa terhormat maka mulailah berlajar menghormati orang lain. Semuanya ditujukan bukan untuk membuat diri merasa bersalah akan tetapi membuat diri lebih baik dari sebelumnya.
Pertama, sampaikan kebenaran dengan cara yang terbaik, bijak, dan santun. Sampaikanlah terus-menerus kepada orang yang bersedia menerima kebenaran, sebaliknya tinggalkanlah orang yang tidak mau menerima kebenaran yang kita ketahui. Kedua, selesaikan suatu permasalahan dengan fikiran yang jernih, hati yang dingin, dan jika menyangkut orang banyak maka ajak dengan jalan musyawarah. Ketiga, belajarlah untuk lebih mengoreksi diri dalam setiap perbuatan yang kita lakukan. Semua itu Insya Allah adalah perbuatan yang membuat kita lebih dewasa benar-benar hijrah pada saat ini.        

Jumat, 05 Oktober 2012

MENCARI MAKNA HIDUP DALAM SETIAP PROFESI

D
emi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al- Ashr’ [103] : 1-3)
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam hidup ini, diberikan Allah bekal kemampuan akal dan fikiran menggunakan potensi yang dibawa semenjak dilahirkan ke dunia ini. Menjalani aktifitas duniawi namun tak melupakan sisi rohani dan spiritual.
            Setiap orang menjalani rutinitas masing-masing dengan profesi masing-masing pula, yang pejabat dengan wewenang jabatannya menentukan keputusan hal-hal yang besar, yang petani semangat dengan pekerjaannya mengisi lumbung-lumbung kehidupan agar bangsa ini tidak kelaparan, yang jadi guru dengan komitemen kode-etiknya  dan lain-lain.
            Bagi umat beragama kita terikat suatu aturan. Sebagai umat Muslim nilai keimanan dan akidah yang menjadi lem perekat antara satu dan yang lain. Semua profesi itu tadi kembali kepada nilai keimanannya agar menjadi benteng pertahanan yang utama dari dalam diri. Tanpa nilai keimanan yang menancap dalam hati sanubari setiap Muslim. Betapa hampanya hidup tanpa jika kita hanya terlena dengan duniawi ini, padahal kita hidup tidak sendiri. Ada orang lain baik itu keluarga, orang-orang di sekeliling kita maupun teman kerja namun kadang kita lupa bahwa mereka itu bisa menjadi cermin bagi kita Sebagai ”…watawa sahubil haqqi watawaa sahubil sabri”.
            Pertama, orang yang memiliki makna hidup adalah orang yang pandai bermuhasabah (mawas diri). Bahwa sesudah hidup ini ada mati dan semua amal baik dan buruk yang telah dilakukan di dunia ini akan kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Tinggal kita berbenah menyiapkan diri dari hidup untuk yang maha hidup. Kedua, bekerja dengan ikhlas, mengembalikan hasil yang telah diusahakan berupa ketentuan Allah semata. Memiliki indikasi mampu menyeimbangkan hak dan kewajibannya.  Ketiga, memanfaatkan hubungan Muammalah sebagai media belajar (pandai mengambil hikmah setiap peristiwa).
Wallahu `alamu bisshawab.
           
           
             





Rabu, 12 September 2012


ISLAM BUKAN SEKADAR IDENTITAS
Ahmad Syarif
          Dewasa ini agama bukan lagi sebagai suatu pendidikan yang dianggap klasik, kuno dan ketinggalan. Orang yang berwawasan luas dalam urusan agama tidak hanya diindikasikan pada tanpilan fisik juga pakaian yang digunakan, semisal berjubah tebal dan bergamis panjang, jenggot yang menjuntai, serta sorban yang melilit dikepala.
          Yang sebenarnya tidak  jarang orang yang berdasi dan berada dibalik meja kerja selalu bertasbih serta berdzikir mengingat Allah. Asumsi umum sementara dari fenomena bahwa orang yang `alim itu kebanyakan dipandang dari Nasab (keturunan). Karena dia anak si A seorang Ulama sehingga dia yang menjadi cikal-bakal pengganti, sebaliknya karena si A anak seorang preman maka anaknyapun juga dianggap cikal-bakal maling, padahal setiap manusia memiliki kesempatan yang sama, kedudukan yang sama di hadapan Allah serta potensi yang sama dalam mengambangkan pengetahuan serta wawasan beragamanya.
Firman Allah SWT  dalam Surah Ar-Rum ( [30] : 30) :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Suatu pemahaman yang perlu dibangun pada firman Allah di atas, bahwa ketetapan itu menjadikan suatu tantangan bagi setiap orang dewasa yang untuk ikut membangun kepribadian yang sadar beragama di dalam diri, keluarga serta masyarakat bahwa peran pendidikan Islam bukan hanya serahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan saja. Sejalan dengan itu Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa Fitrah (potensi). Maka kedua orang tuannyalah yang menentukan apakah anak itu akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Pengalaman orang tua menjadi tonggak estapet ketika informasi yang telah diterima di sekolah dapai dikoneksikan dengan lingkungan anak tinggal. Hingga tidak ada lagi asumsi bahwa, “karena aku sudah tua dan tidak mengerti agama, maka anakku sajalah yang harus mengerti dan pintar agama”. Pernyataan semacam ini adalah suatu pemahaman yang keliru, karena wawasan beragama serta pengamalannya menjadi landasan dan kewajiban setiap diri manusia untuk menimba dan memperlajarinya. Bagaimana dia bisa mengenal Allah kalau dia sendiri tidak mempelajari ilmunya sendiri. Seharusnya pemahaman seperti itu dilengkapi menjadi, “karena aku sudah tua dan tidak sempat belajar agama agama sewaktu muda, maka anakkulah yang harus mengerti dan pintar agama, sehingga sekarang aku bisa belajar dari anakku”. Gagasan semacam ini memberi pengetahuan belajar agama tidak hanya dijadikan kewajiban tatapi lebih pada kesadaran bahkan sampai pada wujud aktualisasi diri. Sebuah  hadis yang diriwayatkan oleh Tharmizi, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ia dipandaikan dalam ilmu agama”.
Aktualisasi diri dalam hal wawasan keagamaan inilah yang jarang dilakukan oleh umat Islam, sehingga nilai-nilai keislaman tampak buram pada pribadi umat muslim, yang parahnya lagi ada anggapan banyak umat Islam hanya di identitas Kartu Penduduknya saja.
Sekali lagi, setiap umat muslim memiliki kewajiban yang sama, kesempatan yang sama, kedudukan yang sama, dan potensi untuk menimba ilmu agama hingga dia mengerti ajaran agamanya sampai pada mengenal dirinya dan Tuhannya (Allah SWT).


Senin, 06 Agustus 2012


RAMADHAN SEBAGAI LADANG PAHALA DAN KEBAIKAN MENUJU TAQWA

Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahi rabbil `alaimin, assalatu wassalamu `ala asyrafil anbiya`i wal mursalin wa `ala alihi wasohbihi ajma`in. `amma ba`du.

Hadirin yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwa Ramadhan bukan sekadar perintah atau kewajiban untuk menunaikan rukun Islam yang ke-tiga, melebihi dari itu sesungguhnya Allah menyiapkan ladang pahala dan kebaikan untuk kita semua. Hal yang paling mendasari ini tentunya adalah bukti Kasih Sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Firman Allah dalam Qur`an Surah Al-Baqarah Ayat 183 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa..”

Bentuk yang pertama, adalah segala amal kebaikan kita dilipat gandakan pahalanya oleh Allah SWT di bulan yang suci ini, satu ibadah sunnah dinilai-Nya sama dengan satu ibadah Fardhu sedangkan satu ibadah Fardhu dinilai-Nya sama dengan 70 ibadah Fardhu yang tentunya tidak akan didapatkan di bulan selain Ramadhan.

Hadis Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersumber dari Abu Hurairah r.a ia berkata: “ Rasulullah SAW bersabda : “Setiap amal perbuatan anak Adam (manusia) itu berlipat ganda. Kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat”.

Kedua, di bulain yang suci ini juga terdapat hikmah turunnya Al-Qur`anul Karim, yang isi dari perintah pertamanya adalah menyuruh kita untuk “membaca”, membaca ayat-ayat-Nya yang tertera dalam kitab suci yang penuh petunjuk dan pembeda dari yang hak dan bathil. Serta membaca ayat-ayat-Nya berupa segala bentuk ciptaan-Nya terhampar di jagad raya ini sebagai bahan tafakur dan muhasabah diri.
Ketiga, hikmah puasa sebagai bentuk kepedulian sosial kita agar dapat mensyukuri atas ni`mat yang telah Allah berikan kepada kita yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang lain. Hingga nantinya terbentuk keperibadin yang Taqwa dan selalu berada dalam tuntunan-Nya.
Amin Yaa Rabbal `Alamin.
Uusikum wanafsi bitaquwallah, jazakallahu khairan katsira.
Wallahul muwafiq ilaa aqwathariq wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.