ISLAM
BUKAN SEKADAR IDENTITAS
Ahmad Syarif
Dewasa ini agama
bukan lagi sebagai suatu pendidikan yang dianggap klasik, kuno dan ketinggalan.
Orang yang berwawasan luas dalam urusan agama tidak hanya diindikasikan pada tanpilan
fisik juga pakaian yang digunakan, semisal berjubah tebal dan bergamis panjang,
jenggot yang menjuntai, serta sorban yang melilit dikepala.
Yang sebenarnya tidak jarang orang yang berdasi dan berada dibalik
meja kerja selalu bertasbih serta berdzikir mengingat Allah. Asumsi umum
sementara dari fenomena bahwa orang yang `alim itu kebanyakan dipandang
dari Nasab (keturunan). Karena dia anak si A seorang Ulama sehingga
dia yang menjadi cikal-bakal pengganti, sebaliknya karena si A anak seorang
preman maka anaknyapun juga dianggap cikal-bakal maling, padahal setiap manusia
memiliki kesempatan yang sama, kedudukan yang sama di hadapan Allah serta
potensi yang sama dalam mengambangkan pengetahuan serta wawasan beragamanya.
Firman Allah
SWT dalam Surah Ar-Rum ( [30] : 30) :
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Suatu pemahaman
yang perlu dibangun pada firman Allah di atas, bahwa ketetapan itu menjadikan
suatu tantangan bagi setiap orang dewasa yang untuk ikut membangun kepribadian
yang sadar beragama di dalam diri, keluarga serta masyarakat bahwa peran
pendidikan Islam bukan hanya serahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan
saja. Sejalan dengan itu Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a. :
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa Fitrah
(potensi). Maka kedua orang tuannyalah yang menentukan apakah anak itu akan
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Pengalaman
orang tua menjadi tonggak estapet ketika informasi yang telah diterima di
sekolah dapai dikoneksikan dengan lingkungan anak tinggal. Hingga tidak ada
lagi asumsi bahwa, “karena aku sudah tua dan tidak mengerti agama, maka
anakku sajalah yang harus mengerti dan pintar agama”. Pernyataan semacam
ini adalah suatu pemahaman yang keliru, karena wawasan beragama serta
pengamalannya menjadi landasan dan kewajiban setiap diri manusia untuk menimba
dan memperlajarinya. Bagaimana dia bisa mengenal Allah kalau dia sendiri tidak
mempelajari ilmunya sendiri. Seharusnya pemahaman seperti itu dilengkapi
menjadi, “karena aku sudah tua dan tidak sempat belajar agama agama sewaktu
muda, maka anakkulah yang harus mengerti dan pintar agama, sehingga sekarang aku
bisa belajar dari anakku”. Gagasan semacam ini memberi pengetahuan belajar
agama tidak hanya dijadikan kewajiban tatapi lebih pada kesadaran bahkan sampai
pada wujud aktualisasi diri. Sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Tharmizi, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka
ia dipandaikan dalam ilmu agama”.
Aktualisasi diri dalam hal wawasan keagamaan inilah yang jarang
dilakukan oleh umat Islam, sehingga nilai-nilai keislaman tampak buram pada
pribadi umat muslim, yang parahnya lagi ada anggapan banyak umat Islam hanya di
identitas Kartu Penduduknya saja.
Sekali lagi, setiap umat muslim memiliki kewajiban yang sama,
kesempatan yang sama, kedudukan yang sama, dan potensi untuk menimba ilmu agama
hingga dia mengerti ajaran agamanya sampai pada mengenal dirinya dan Tuhannya
(Allah SWT).