Rabu, 12 September 2012


ISLAM BUKAN SEKADAR IDENTITAS
Ahmad Syarif
          Dewasa ini agama bukan lagi sebagai suatu pendidikan yang dianggap klasik, kuno dan ketinggalan. Orang yang berwawasan luas dalam urusan agama tidak hanya diindikasikan pada tanpilan fisik juga pakaian yang digunakan, semisal berjubah tebal dan bergamis panjang, jenggot yang menjuntai, serta sorban yang melilit dikepala.
          Yang sebenarnya tidak  jarang orang yang berdasi dan berada dibalik meja kerja selalu bertasbih serta berdzikir mengingat Allah. Asumsi umum sementara dari fenomena bahwa orang yang `alim itu kebanyakan dipandang dari Nasab (keturunan). Karena dia anak si A seorang Ulama sehingga dia yang menjadi cikal-bakal pengganti, sebaliknya karena si A anak seorang preman maka anaknyapun juga dianggap cikal-bakal maling, padahal setiap manusia memiliki kesempatan yang sama, kedudukan yang sama di hadapan Allah serta potensi yang sama dalam mengambangkan pengetahuan serta wawasan beragamanya.
Firman Allah SWT  dalam Surah Ar-Rum ( [30] : 30) :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Suatu pemahaman yang perlu dibangun pada firman Allah di atas, bahwa ketetapan itu menjadikan suatu tantangan bagi setiap orang dewasa yang untuk ikut membangun kepribadian yang sadar beragama di dalam diri, keluarga serta masyarakat bahwa peran pendidikan Islam bukan hanya serahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan saja. Sejalan dengan itu Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa Fitrah (potensi). Maka kedua orang tuannyalah yang menentukan apakah anak itu akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Pengalaman orang tua menjadi tonggak estapet ketika informasi yang telah diterima di sekolah dapai dikoneksikan dengan lingkungan anak tinggal. Hingga tidak ada lagi asumsi bahwa, “karena aku sudah tua dan tidak mengerti agama, maka anakku sajalah yang harus mengerti dan pintar agama”. Pernyataan semacam ini adalah suatu pemahaman yang keliru, karena wawasan beragama serta pengamalannya menjadi landasan dan kewajiban setiap diri manusia untuk menimba dan memperlajarinya. Bagaimana dia bisa mengenal Allah kalau dia sendiri tidak mempelajari ilmunya sendiri. Seharusnya pemahaman seperti itu dilengkapi menjadi, “karena aku sudah tua dan tidak sempat belajar agama agama sewaktu muda, maka anakkulah yang harus mengerti dan pintar agama, sehingga sekarang aku bisa belajar dari anakku”. Gagasan semacam ini memberi pengetahuan belajar agama tidak hanya dijadikan kewajiban tatapi lebih pada kesadaran bahkan sampai pada wujud aktualisasi diri. Sebuah  hadis yang diriwayatkan oleh Tharmizi, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ia dipandaikan dalam ilmu agama”.
Aktualisasi diri dalam hal wawasan keagamaan inilah yang jarang dilakukan oleh umat Islam, sehingga nilai-nilai keislaman tampak buram pada pribadi umat muslim, yang parahnya lagi ada anggapan banyak umat Islam hanya di identitas Kartu Penduduknya saja.
Sekali lagi, setiap umat muslim memiliki kewajiban yang sama, kesempatan yang sama, kedudukan yang sama, dan potensi untuk menimba ilmu agama hingga dia mengerti ajaran agamanya sampai pada mengenal dirinya dan Tuhannya (Allah SWT).