Senin, 25 April 2011

Jihad atau Kejahatan


JIHAD ATAU KAJAHATAN
Ahmad Syarif
D

 an perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa .( QS. At Taubah [009] : 36 )
            Al-Qur`an selain sebagai petunjuk dalam kehidupan, ia juga diberi nama  al-Furqan ( Pembeda). Pembeda yang dimaksud adalah pembeda yang benar dan yang salah disertai dengan hikmah yang terkandung di dalam ayat-ayatnya yang semestinya kita fahami dalam konteks kekinian, sehingga tidak muncul multi interpretasi dan tidak mendasar yang bisa berdampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Baru-baru ini begitu banyak terjadi tindak kejahatan mulai dari teror bom, pencucian otak yang membonceng-bonceng isu sara, hal ini diperparah dengan banyaknya kalangan pelajar dan mahasiswa dari perguruan tinggi Islam yang terjebak dalam ranah pemahaman yang keliru oleh pandangan hukum negara, ironisnya lagi konon katanya itu adalah bagian dari jihad. Apapun namanya jika suatu tindakan yang ditujukan kepada seseorang atau orang banyak yang itu berniat untuk mencelakakan maka jelas agama manapun tidak membenarkan adanya.
            Dalam memahami kalimat jihad tidak semudah dan sebatas memaknai berjuang di Allah saja, tentu harus memahami hikmah dari jihad secara utuh. Tidak hanya melihat jihad dari sudut pandang berperang dan menumpahkan darah melawan orang-orang kafir yang halal darahnya, karena jaman sekarang bukan perang adu fisik seperti pada jaman jahiliyah yang musuh jelas di depan mata. Yang diperlukan jaman sekarang bagaimana kita bisa membangun konstruksi pemikiran yang mampu memberi pencitraan baik sehingga dapat dijadikan contoh oleh orang banyak sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari.
            Dengan melakukan tindakan pengeboman, pembakaran, penjarahan atau penteroran suatu kelompok orang maka kita telah kehilangan kesantunan dalam akhlak ajaran agama yang semestinya membawa kedamaian dan keselamatan. Yang dapat menentukan jihad tentu bukan karena ikut-ikutan sekelompok orang yang telah dihasut dan bahkan boleh jadi diperalat demi sebuah kepentingan yang hanya menguntungkan individu-individu tertentu. Kepentingan itu juga kadang tidak ada sangkut pautnya dengan latar tindakan yang dilakukan, maka dari itu dalam sebuah hadits dijelaskan:
Bersumber dari Abu Musa ra., bahwasanya ada seorang Badui datang kepada Nabi SAW dan berkata: “ Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena mengharapkan barang rampasan, ada seorang yang berperang karena agar dikenal, dan ada seorang yang berperang karena menginginkan kedudukan”. Dalam riwayat lain dikatakan: “ Ada seseorang berperang agar dia dianggap pemberani, dan ada seseorang berperang karena mempertahankan keluarganya”. Dalam riwayat lain dikatakan: “ Ada seseorang berperang karena marah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berperang dengan niat agar kalimat Allah itu luhur maka itulah yang disebut berjuang pada jalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Gambaran dalam hadits di atas menunjukkan bahwa makna jihad tidak cukup hanya dimaknai dengan berperang melawan kaum kafir yang mengancam keutuhan agama, namun perlu dimaknai pula memerangi hawa nafsu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sejalan dengan ini hadits Nabi SAW:
Diriwayatkan oleh as-Saukani dari Imam ash-Shadiq as: “ Nabi SAW mengutus pasukan (sariyah). Tatkala mereka pulang, beliau berkata: “Selamat datang kaum yang telah melakukan jihad kecil dan kemudian akan melakkukan jihad akbar. Sehabatnya bertanya: “ Ya Rasulallah, apa jihad akbar itu? Beliau menjawab: “ Jihad melawan hawa nafsu.”
            Tanpa  melemahkan makna jihad itu sendiri, karena tuntunan untuk berjihad tidak hanya di medan perang akan tetapi menuntut ilmu pengetahuan pun termasuk golongan orang yang berjihad. Jauh dari konstruksi pemahaman orang yang tidak mendalami dan memahami secara utuh, jihad diidentikkan dengan kekerasan, pertikaian dan pertumpahan darah, tentunya kita sebagai ummat yang membawa ajaran keselamatan bisa dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, memberikan pemahaman pada kaum muda-mudi agar tidak salah dalam memahami suatu konsep ajaran dalam Islam. Allah SWT menegaskan dalam Firman-Nya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah  [009] : 122)
            Dengan menimba ilmu maka setidaknya menjadi bekal agar kita tidak mudah terpengaruh dengan berbagai hasut dan dengki dari golongan orang yang ingin menghancurkan Islam, terlebih kita akan lebih peka terhadap tindakan suatu kelompok yang ingin memperalat yang mengatasnamakan jihad sebagai sarana kejahatanya.
            Pertama, fahami seruan al-Qur`an tentang jihad dari berbagai sudut pandang bukan sebaliknya memahami jihad sebagai sarana berjuang di medan perang saja akan tetapi perlu pemahaman dengan konteks kekinian.
            Kedua, jihad tidak pernah menyerukan untuk melakukan kekerasan, penekanan kelompok tertentu tanpa beralasan yang kuat atau hanya sangka-sangka dengan melakukan main hakim sendiri serta dapat berimbas pada korban yang tidak tahu akar muasal permasalahan dikarenakan hasutan kelompok tertentu yang memanfaatkan keadaan.
            Ketiga, berjihad dengan perang bukan hanya berarti kita merelakan nyawa ditangguhkan di medan perang, akan tetapi memerangi hawa nafsu termasuk jihad dan bahkan oranga yang menuntut ilmu dikategorikan berjihad dan berjuang di jalan Allah.
            Semuanya dikembalikan kepada diri kita masing-masing mau atau tidak untuk memahami ayat Allah sebagai petunjuk yang tidak akan sesat selama-lamanya jika kita mengikutinya serta mampu atau tidak kita menyelami hikmah yang terkandung di dalam perintah-perintanya seperti perintah untuk berjihad atau berjuang di jalan Allah juga terakhir harus pula di barengi dengan ilmu pengetahuan agar kita mampu membedakan mana yang jihad dan mana yang kejahatan.







Selasa, 05 April 2011

Pemimpin


Bismillahirrahmanirrahim
KARAKTER PEMIMPIN YANG QUR`ANI
S
Ahmad Syarif
esungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [016] : 90)
            Al-Qur`an, sebagaimana diketahui juga dipahami, adalah kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad beserta hikmah juga petunjuk yang terkandung di dalamnya. Manusia sebagai seorang hamba dan sekaligus pemimpin bagi masing-masing diri, sudah barang tentu wajib hukumnya mempelajari dan mengamalkan isi kandungan al-Qur`an sebagai petunjuk yang selama-lamanya tidak akan pernah menyesatkan bagi orang-orang yang menjadikannya pedoman hidup. Ditegaskan dalam sebuah hadits (artinya) :
Dari Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR.Muslim)
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
Mengenai kepemimpinan, Umar bin Khattab, ra. Telah memberikan contoh teladan yang sangat indah. Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa Umar, ra. Tidak cenggung memikul sekarung gandum dengan pundaknya sendiri, pada waktu itu beliau seorang Amirul mukminin, sebagai bentuk khidmat pada rakyat yang dipimpinnya. Demikianlah contoh pemimpin yang bertanggungjawab atas amanat yang diamanatkan kepadanya.
Tidak jarang, pemimpin dibenci rakyatnya sendiri karena tidak memegang amanah secara baik. Pemimpin seperti ini tentu saja dibenci oleh Allah Swt.

Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa ditakdirkan Allah untuk menjadi pemimpin rakyatnya, kemudian dia mati, dan menipu rakyatnya, maka Allah pun mengharamkan surga atasnya”. (HR. Muslim)
Sehubungan dengan itu jika ditanya bagaimana karakter pemimpin yang Qur`ani?, tentu jawabannya harus kembali kepada tuntunan al-Qur`an yang mengurai karakteristik dan syarat menjadi seorang pemimpin hal ini termaktub dalam sebuah kisah tentang Bani Israil:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.”(QS.Al-Baqarah [002] : 247)
            Gambaran ayat di atas terdapat gambaran karakter pemimpin yang patut dijadikan panutan dan diteladani selain Rasulullah yang sudah menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman dalam memimpin ummat.
Pertama, pemimpin haruslah seorang manusia pilihan (ish thafaahu). Bukan orang sembarangan, dan bukan asal pilih. Dan yang berhak memilih adalah Allah SWT. Lalu, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa seseorang telah dipilih Allah atau tidak?
Allah SWT tentu tidak begitu saja memilih seseorang menjadi pemimpin, melainkan melalui sebuah mekanisme yang jelas. Itulah ujian, yang akan menempa jiwa dan menguatkan mentalnya. Seseorang yang dipilih Allah haruslah orang yang telah menempuh berbagai ujian dalam hidupnya, dan telah terbukti lulus menghadapi ujian tersebut. Hampir mustahil kita mengharapkan munculnya sikap kepemimpinan yang kuat pada diri seseorang yang hidupnya selalu senang; lahir dari keluarga kaya dan menghabiskan masa mudanya dengan berfoya-foya, dan cenderung diperbudak hawa nafsunya. Ketika dihadapkan pada ujian kesenangan, ia akan mudah tergoda; dan sebaliknya , sewaktu diberikan ujian kesulitan ia dengan gampang akan menyerah dan lari.
Kedua, pemimpin mesti memiliki keunggulan dalam ilmu (bashthatan fil ilmi). Ia bukan orang bodoh sehingga mudah diperalat, bukan orang dungu yang hanya jadi boneka. Ia memiliki prinsip, visi, dan program yang jelas. Dia mengerti permasalahan yang dihadapi rakyatnya, dan tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak akan gamang menghadapi kesulitan, karena semua antisipasi telah dipersiapkan. Ia juga harus berpandangan jauh, mampu melihat berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di masa mendatang, sehingga dapat mempersiapkan bekal untuk menghadapinya. Lebih dari itu, ia pun dapat mengkomunikasikan ide-ide kepada para pembantunya sehingga setiap orang mengerti apa yang dikehendakinya dan dapat dengan tepat melaksanakannya.
Ketiga, seorang pemimpin haruslah memiliki keunggulan dalam hal fisik (bashthatan fil jismi). Seperti itulah Thalut. Dia sehat, gagah, perkasa, dan tak terkalahkan dalam pertempuran. Dia telah membuktikan kekuatannya dalam berbagai perang yang telah dijalaninya. Dia selalu memperoleh kemenangan meski hanya membawa pasukan yang kecil.
Dalam konteks kekinian, karena perang yang dihadapi bukan lagi perang fisik, keunggulan jasmaniah ini tentu bukan sekedar keperkasaan tubuh. Basthatan fil jismi yang diperlukan sekarang adalah keterampilan, atau keahlian mengaplikasikan ilmu yang sudah dimiliki. Pemimpin bukanlah orang yang hanya pintar bicara, tapi lebih dari itu ia telah membuktikan bahwa ilmunya itu sudah berbuah, yakni karya nyata di tengah masyarakat. Jika ia seorang sarjana, maka kesarjanaannya telah bermanfaat bagi masyarakat. Jika ia seorang ustadz atau kyai, maka ketinggian ilmunya telah terbukti berhasil mencerahkan jamaahnya. Bukan sekedar sarjana, atau bahkan doktor dan profesor; bukan pula seorang ustadz atau kyai, tapi seorang yang memiliki keahlian untuk mengamalkan ilmunya. Itulah pemimpin sejati.
Demikianlah tiga karakter pemimpin yang telah Allah anugerahkan kepada Thalut. Semoga kita dapat memetik pelajaran darinya. Dan semoga dalam Pemilu nanti, kita benar-benar dapat memilih pemimpin dengan tiga karakter Qur’ani ini. Amin.






*******