Selasa, 05 April 2011

Pemimpin


Bismillahirrahmanirrahim
KARAKTER PEMIMPIN YANG QUR`ANI
S
Ahmad Syarif
esungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [016] : 90)
            Al-Qur`an, sebagaimana diketahui juga dipahami, adalah kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad beserta hikmah juga petunjuk yang terkandung di dalamnya. Manusia sebagai seorang hamba dan sekaligus pemimpin bagi masing-masing diri, sudah barang tentu wajib hukumnya mempelajari dan mengamalkan isi kandungan al-Qur`an sebagai petunjuk yang selama-lamanya tidak akan pernah menyesatkan bagi orang-orang yang menjadikannya pedoman hidup. Ditegaskan dalam sebuah hadits (artinya) :
Dari Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR.Muslim)
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
Mengenai kepemimpinan, Umar bin Khattab, ra. Telah memberikan contoh teladan yang sangat indah. Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa Umar, ra. Tidak cenggung memikul sekarung gandum dengan pundaknya sendiri, pada waktu itu beliau seorang Amirul mukminin, sebagai bentuk khidmat pada rakyat yang dipimpinnya. Demikianlah contoh pemimpin yang bertanggungjawab atas amanat yang diamanatkan kepadanya.
Tidak jarang, pemimpin dibenci rakyatnya sendiri karena tidak memegang amanah secara baik. Pemimpin seperti ini tentu saja dibenci oleh Allah Swt.

Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa ditakdirkan Allah untuk menjadi pemimpin rakyatnya, kemudian dia mati, dan menipu rakyatnya, maka Allah pun mengharamkan surga atasnya”. (HR. Muslim)
Sehubungan dengan itu jika ditanya bagaimana karakter pemimpin yang Qur`ani?, tentu jawabannya harus kembali kepada tuntunan al-Qur`an yang mengurai karakteristik dan syarat menjadi seorang pemimpin hal ini termaktub dalam sebuah kisah tentang Bani Israil:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.”(QS.Al-Baqarah [002] : 247)
            Gambaran ayat di atas terdapat gambaran karakter pemimpin yang patut dijadikan panutan dan diteladani selain Rasulullah yang sudah menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman dalam memimpin ummat.
Pertama, pemimpin haruslah seorang manusia pilihan (ish thafaahu). Bukan orang sembarangan, dan bukan asal pilih. Dan yang berhak memilih adalah Allah SWT. Lalu, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa seseorang telah dipilih Allah atau tidak?
Allah SWT tentu tidak begitu saja memilih seseorang menjadi pemimpin, melainkan melalui sebuah mekanisme yang jelas. Itulah ujian, yang akan menempa jiwa dan menguatkan mentalnya. Seseorang yang dipilih Allah haruslah orang yang telah menempuh berbagai ujian dalam hidupnya, dan telah terbukti lulus menghadapi ujian tersebut. Hampir mustahil kita mengharapkan munculnya sikap kepemimpinan yang kuat pada diri seseorang yang hidupnya selalu senang; lahir dari keluarga kaya dan menghabiskan masa mudanya dengan berfoya-foya, dan cenderung diperbudak hawa nafsunya. Ketika dihadapkan pada ujian kesenangan, ia akan mudah tergoda; dan sebaliknya , sewaktu diberikan ujian kesulitan ia dengan gampang akan menyerah dan lari.
Kedua, pemimpin mesti memiliki keunggulan dalam ilmu (bashthatan fil ilmi). Ia bukan orang bodoh sehingga mudah diperalat, bukan orang dungu yang hanya jadi boneka. Ia memiliki prinsip, visi, dan program yang jelas. Dia mengerti permasalahan yang dihadapi rakyatnya, dan tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak akan gamang menghadapi kesulitan, karena semua antisipasi telah dipersiapkan. Ia juga harus berpandangan jauh, mampu melihat berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di masa mendatang, sehingga dapat mempersiapkan bekal untuk menghadapinya. Lebih dari itu, ia pun dapat mengkomunikasikan ide-ide kepada para pembantunya sehingga setiap orang mengerti apa yang dikehendakinya dan dapat dengan tepat melaksanakannya.
Ketiga, seorang pemimpin haruslah memiliki keunggulan dalam hal fisik (bashthatan fil jismi). Seperti itulah Thalut. Dia sehat, gagah, perkasa, dan tak terkalahkan dalam pertempuran. Dia telah membuktikan kekuatannya dalam berbagai perang yang telah dijalaninya. Dia selalu memperoleh kemenangan meski hanya membawa pasukan yang kecil.
Dalam konteks kekinian, karena perang yang dihadapi bukan lagi perang fisik, keunggulan jasmaniah ini tentu bukan sekedar keperkasaan tubuh. Basthatan fil jismi yang diperlukan sekarang adalah keterampilan, atau keahlian mengaplikasikan ilmu yang sudah dimiliki. Pemimpin bukanlah orang yang hanya pintar bicara, tapi lebih dari itu ia telah membuktikan bahwa ilmunya itu sudah berbuah, yakni karya nyata di tengah masyarakat. Jika ia seorang sarjana, maka kesarjanaannya telah bermanfaat bagi masyarakat. Jika ia seorang ustadz atau kyai, maka ketinggian ilmunya telah terbukti berhasil mencerahkan jamaahnya. Bukan sekedar sarjana, atau bahkan doktor dan profesor; bukan pula seorang ustadz atau kyai, tapi seorang yang memiliki keahlian untuk mengamalkan ilmunya. Itulah pemimpin sejati.
Demikianlah tiga karakter pemimpin yang telah Allah anugerahkan kepada Thalut. Semoga kita dapat memetik pelajaran darinya. Dan semoga dalam Pemilu nanti, kita benar-benar dapat memilih pemimpin dengan tiga karakter Qur’ani ini. Amin.






*******






Tidak ada komentar:

Posting Komentar